Modernis.co, Malang — Keresahan saya hari ini terhadap kader dalam berorganisasi ialah minat belajar filsafat yang semakin meredup. sistematika dalam berdialektika dan beretorika di ruang umum sudah minim ditemui. Kesadaran kritis yang membentuk semangat berpikir seakan hilang ditelan hukum alam. Kader aktifis yang terkenal militansinya mulai pasif, sehingga kinerja organisasi tidak lagi masif.
Tantangan yang menjadi hambatan dalam berorganisasi sangat minim disadari dan diejawantahkan oleh pihak organisai (organ). Keberadaannya diabaikan dan lebih memfokuskan kepada asupan-asupan intelektualisme. Kita tahu, kinerja organisasi bukan sebatas regenerasi tampuk pimpinan beserta program kerjanya. Selain itu banyak sekali tantangan yang dialami oleh kader yang membutuhkan perhatian khusus untuk segera diselesaikan.
Tulisan ini terupaya untuk menjawab salah satu tantangan yang di hadapi kader. Di antaranya pertanyaan mengenai tantangan yang seperti apa yang berat di hadapi oleh kader dalam berorganisasi,?
Untuk menjawabnya kader militan pasti tau, menjadi kader itu berat, tanggung jawabnya besar. Karenanya kader dituntut untuk harus berpengetahuan lebih. Dalam mewujudkannya kader selalu di asupkan nilai serta intelek ilmiah yang sistematis dan logis. Kerangka berpikir ini dikenal sebagai filsafat, inilah yang berat dan menjadi tantangan tersendiri jika di hadapakan kepada kader.
Tidak sedikit kita mendengar keluh kesah mereka tentang beratnya untuk menghadapi kajian filsafat. perkataan filsafat itu membingungkan, membuat kepala kita pusing, juga tidak kalah sering. Bahkan ada juga sebagian menyatakan filsafat itu mendekati kita kepada keragu-raguan karena menghendaki kita berpikir sedalam-dalamnya mengenai hakikat segala sesuatu yang ada (ontologi).
Sederhanaya, kita harus memakai logika terbalik dalam menjawab asumsi yang demikian. Tidaklah membuat kita ragu karena filsafat, tapi sebaliknya kita akan semakin bertambah yakin karenanya. Sebab Nabi Muhammad Saw pada usia 7 tahun telah bertanya kepada pamannya tentang hakikat penciptaan segala yang ada. Ini disebutkan oleh Ibnu Sina sebagai al-Hads (kemampuan potensial yang sangat kuat dalam jiwa manusia yang sedang belajar).
Kita juga tau, dengan kecerdasan berpikir yang mengagumkan beliau, berhasil mendamaikan pertikaian di kalangan suku Quraish. Beliau terpilih sebagai pengambil keputusan yang bijak dan membuat setiap dari suku tersebut mendapat bagian/jatah untuk mengangkat batu hitam. Inilah yang disebut sebagai filsuf sejati oleh Musa Asy’ari sebelum wahyu diturunkan kepada beliau..
Filsuf sejati bukanlah mereka yang sanggup berpikir tentang sesuatu yang besar, melainkan mereka yang gelisah melihat realita di sekitarnya yang dipenuhi oleh permasalahan. Masalah penindasan kaum perempuan, perampokan, penggusuran tanah kaum miskin, merajalelanya pelacuran, riba, dan judi.
Filsuf sejati akan mencari alternatif yang lain untuk memberikan pencerahan, apakah gerangan yang mengebabkan itu terjadi, bagaimana cara mengatasinya, bagaimana merubah serta menjauhkan masyarakat dari jurang kehancuran dan jurang kegelapan, menuju masyarakat yang damai, sejahtera dengan penuh kebijaksanaan.(Fauz Noor. 2004:39) Dan itulah yang di lakukan oleh Muhammad SAW.
Ada satu hal lagi yang menarik, ini sering kita dengar dari mubaligh-mubaligh bersurban kita, yang kerapkali membuat pesta tangis pendengar di setiap kuthbahnya. Apabila engkau seorang pedagang, maka tirulah dagangnya nabi dengan kejujurannya. Apabila engkau seorang politikus, panglima atau seorang pemimpin, maka tirulah kepemimpinan nabi dengan segala keadilannya. Apabila engkau seorang ‘Alim, maka tirulah ke’aliman nabi dengan sikap tawadhunya.
Jika harus demikian (memang harus demikian adanya). Ketika kita mendengar kalimat itu, ada satu pertanyaan yang harus anda jawab sendiri. Salahkah jika kita berkata, apabila engkau seorang pemikir maka jadilah pemikir seperti Rasulullah Saw. Jika engkau seorang filsuf maka Berfilosofilah seperti kefilsufan Rasulullah Saw. dengan segala kebijaksanaannya?.
Jadi, setelah mengetahui jawaban tersebut sangat tidak logis apabila hari ini kita masih mendengar kader mengeluhkan tentang beratnya belajar filsafat, apalagi sampai mengharamkannya hingga mereka berlaku pasif terhadap agenda dan kajian yang diadakan oleh organisasi. Karena jika kita meninjau bagaimana ulama-ulama besar di era peradaban Islam bisa/mampu menyatukan antara filsafat dan syari’at. Salah satunya Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd (1114-1198) mengatakan jangan takut belajar filsafat sebab tujuan filsafat sama dengan Syari’at dalam mencari dan menuju pada hakikat kebenaran yang tunggal ( wihdah al-hakikah). Artinya bahwa hakikat kebenaran hanya satu, namun termanifestasi dalam bentuk (wujud) yang beragam. (Ust. H. Dr Fachruddin Faiz MA. Filsafat Islam. Ibnu Rusyd.) Sederhanya antara filsafat dan syari’at merupakan dua jalur yang berbeda dalam mencapai tujuan akhirnya yang sama.
*Oleh Syarif R. S. (Aktivis IMM Tamaddun Universitas Muhamadiyah Malang)